Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Kasus air kemasan Aqua,adalah potret panjang Korporasi memperlakukan Sumber Air.


             foto: Ilustrasi

Nasional - Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air disebutkan bahwa pengelolaan air dilakukan oleh Negara untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Air bukan milik pribadi, apalagi korporasi. 

Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya, Izin pengambilan air tanah sering dikelola secara longgar, bahkan diserahkan pada logika pasar. 

Perusahaan besar yang memiliki modal dan jaringan dapat dengan mudah mengakses sumber air, sementara masyarakat sekitar sumbernya harus membeli galon air untuk bertahan hidup. Inilah ironi paling getir dari sistem ekonomi kita: rakyat kehilangan akses atas air di tanahnya sendiri.

Jika dugaan penggunaan air tanah oleh Aqua terbukti, maka ada dua pelanggaran besar yang terjadi. Pertama, pelanggaran lingkungan, pengambilan air tanah dalam skala besar tanpa izin atau tanpa mempertimbangkan daya dukung ekologis. 

Kedua, pelanggaran moral dan hukum konsumen, karena perusahaan diduga menyesatkan publik lewat klaim “air pegunungan alami” yang tidak sesuai kenyataan. 

Dalam konteks hukum, pelanggaran tersebut diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah dan Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2024 yang menegaskan bahwa setiap pengambilan air tanah untuk kegiatan usaha harus berizin dan mempertimbangkan daya dukung lingkungan. 

Sementara dari sisi konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang produk yang dipasarkan.

Yang paling mengkhawatirkan bukan hanya pelanggaran aturan, tetapi krisis moralitas bisnis. Air adalah simbol kehidupan, bukan sekadar komoditas ekonomi. 

Kasus dugaan penggunaan air sumur bor oleh Aqua, salah satu merek air minum kemasan paling terkenal di Indonesia, bukan sekadar soal pelanggaran administratif atau kesalahan teknis. 

Tapi Ini adalah potret telanjang dari bagaimana korporasi besar memperlakukan air sebagai  komoditas bisnis semata, sambil menutupi jejak ekologis di balik kemasan biru yang tampak suci.

Selama puluhan tahun, Aqua memasarkan dirinya sebagai simbol kesegaran alami, air pegunungan murni yang menetes dari sumber-sumber jernih di lereng tropis Nusantara. Iklan-iklannya menampilkan kesejukan alam, kesahajaan, dan kesadaran lingkungan. 

Namun kini, laporan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang tengah memeriksa dugaan penggunaan air tanah atau sumur bor oleh Aqua mengguncang fondasi kepercayaan publik. 

Bila benar air dalam botol itu bukan berasal dari mata air pegunungan sebagaimana diklaim, maka publik telah dibohongi secara sistematis. Ini bukan sekadar persoalan label yang keliru, melainkan penipuan terhadap hak dasar konsumen untuk tahu, dari mana sebenarnya air yang mereka minum setiap hari berasal.

Air tanah bukan sumber daya tak terbatas. Ia terbentuk melalui proses alami yang panjang, resapan hujan, lapisan batuan, dan keseimbangan ekosistem yang rapuh. 

Ketika perusahaan menyedotnya dalam kapasitas industri, siklus alam terganggu, muka air tanah menurun, sumur warga mengering, tanah menurun, dan vegetasi kehilangan daya hidupnya. 

Kejadian ini sudah tampak di banyak daerah penghasil air minum kemasan, masyarakat sekitar pabrik mengeluh kekeringan, sementara truk-truk pengangkut air terus berlalu setiap hari. Ironisnya, masyarakat yang tanahnya kering itu seringkali tak memperoleh manfaat apa pun dari bisnis besar yang menambang air di bawah kaki mereka.

Ketika perusahaan dengan mudah mengubah air tanah menjadi barang dagangan tanpa transparansi, sesungguhnya mereka sedang mengabaikan prinsip keadilan ekologis: bahwa air harus dikelola secara lestari dan berkeadilan sosial. 

Bisnis yang mengandalkan citra “alami” seharusnya menjadi pelopor etika lingkungan, bukan justru pelaku pengaburan informasi publik.

Kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah dan publik untuk menata ulang tata kelola industri air kemasan di Indonesia. 


Sudah saatnya dilakukan audit lingkungan nasional terhadap seluruh perusahaan air minum kemasan -- memeriksa izin pengambilan air tanah, dampak ekologis, dan kejujuran klaim pemasaran mereka. 

Konsumen pun berhak tahu dari mana air yang mereka minum berasal. Label “mata air pegunungan” tidak boleh menjadi kedok untuk menutupi praktik eksploitasi sumber daya air tanah.

Kita sedang menghadapi ancaman serius terhadap keberlanjutan air di negeri sendiri. Jika korporasi terus diberi kelonggaran untuk mengeksploitasi air tanpa batas, maka bukan tidak mungkin anak cucu kita kelak harus membeli air lebih mahal dari bahan bakar. 

Air adalah hak publik, bukan hak istimewa pemilik modal. Dan ketika air diperjualbelikan dengan mengorbankan lingkungan, itu bukan sekadar bisnis tapi itu kejahatan terhadap kehidupan.

Sumber: Agung Nugroho
Direktur Jakarta Institute

Posting Komentar

0 Komentar