Nasional - Beberapa pekan terakhir, jagat pemberitaan Indonesia ramai oleh kabar banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Video rumah hanyut, jembatan roboh, dan warga berlarian menyelamatkan diri mendominasi lini masa media sosial.
Banyak masyarakat bertanya-tanya, mengapa bencana tampak semakin sering dan semakin sulit diprediksi. Lalu muncullah kembali diskusi besar yang sebenarnya sudah lama kita abaikan: pentingnya menempatkan lingkungan sebagai fondasi pembangunan, bukan sekadar pelengkap.
Di tengah derasnya arus informasi itu, sebuah kutipan dari Guy McPherson kembali viral. Isinya sederhana namun menohok: "Jika kamu berpikir ekonomi lebih penting daripada lingkungan, cobalah menahan napas sambil menghitung uang."
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa ekonomi sesungguhnya tidak pernah berdiri sendiri. Ia bertumpu pada lingkungan hidup yang sehat. Ketika hutan hilang, air kotor, atau udara tercemar, sekuat apa pun ekonomi dibangun, ia pada akhirnya akan terhempas oleh krisis ekologis.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa korelasi ini semakin nyata. Banjir yang melanda Sumatra beberapa hari lalu tidak hanya memutus akses dan merusak rumah warga. Ia juga melumpuhkan pasar, menghentikan distribusi pangan, dan mematikan aktivitas ekonomi daerah. Para pedagang tidak bisa membuka kios karena banjir.
Petani kehilangan tanaman yang baru ditanam. Nelayan tidak bisa melaut karena air keruh dan fasilitas rusak. Semua ini adalah bukti bahwa ketika alam terluka, ekonomi ikut jatuh.
Dalam konteks nasional, isu kehilangan tutupan pohon semakin memperjelas hubungan antara lingkungan dan stabilitas ekonomi. Sepanjang 2001 hingga 2024, Indonesia kehilangan lebih dari 19 juta hektare tutupan pohon di lima provinsi utama.
Dampak ekologisnya tidak main-main. Tanpa hutan, air hujan tidak lagi meresap ke tanah, debit sungai menjadi liar, dan risiko banjir meningkat tajam. Semua itu berdampak langsung pada ongkos ekonomi yang harus ditanggung negara.
Walaupun demikian, opini ini tidak sedang mengajak kita tenggelam dalam pesimisme. Justru bencana yang terjadi menjadi momentum berharga untuk memperbaiki arah.
Pandangan bahwa lingkungan adalah penghambat pembangunan sudah tidak relevan dalam konteks hari ini. Sesungguhnya lingkungan adalah pondasi dari seluruh kegiatan ekonomi. Negara-negara dengan kualitas lingkungan yang baik terbukti lebih stabil secara ekonomi, lebih aman dari bencana, dan lebih menarik bagi investasi jangka panjang.
Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun masa depan ekonomi yang bertumpu pada keberlanjutan. Banyak daerah yang telah menunjukkan bahwa perlindungan lingkungan dapat berjalan seiring dengan kesejahteraan.
Di Aceh, beberapa komunitas adat mengelola hutan dengan pendekatan berbasis kearifan lokal. Mereka memanfaatkan hasil hutan tanpa menebang pohon secara berlebihan. Model seperti ini tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi juga memberikan pendapatan yang stabil bagi warga.
Di Kalimantan, gerakan agroforestri mulai berkembang. Petani menanam pohon bersama komoditas pangan sehingga lahan tetap produktif tanpa menghilangkan tutupan vegetasi. Sistem ini terbukti mampu memulihkan tanah yang rusak, menekan banjir, sekaligus meningkatkan penghasilan keluarga. Jika skema seperti ini diperluas secara nasional, Indonesia dapat menjaga lingkungan sambil membawa ekonomi lokal berkembang.
Pemerintah daerah juga mulai menunjukkan langkah nyata. Beberapa kepala daerah kini lebih serius memperketat pengawasan izin usaha, memperbaiki tata ruang, dan menutup akses bagi aktivitas yang merusak lingkungan. Langkah-langkah ini merupakan sinyal bahwa kesadaran ekologis di tubuh pemerintahan semakin menguat. Bila kebijakan ini dijalankan secara konsisten, kita akan melihat perubahan positif dalam beberapa tahun ke depan.
Salah satu peluang terbesar yang sering luput dari perhatian adalah ekonomi hijau. Transisi energi, ekowisata, pertanian organik, pemulihan ekosistem, dan perdagangan karbon adalah sektor yang bisa menjadi tumpuan ekonomi masa depan. Hutan yang sehat dapat menghasilkan nilai karbon yang tinggi. Sungai yang terjaga dapat menjadi ruang wisata alam. Udara bersih dapat menjadi daya tarik bagi kota-kota yang ingin membangun industri kreatif.
Modal sosial kita pun semakin kuat. Generasi muda bergerak aktif menyuarakan isu lingkungan melalui kampanye digital, edukasi publik, dan kegiatan menanam pohon. Mereka tidak lagi melihat lingkungan sebagai isu pinggiran, tetapi bagian dari identitas generasi mereka. Energi positif ini harus disambut dengan dukungan kebijakan dan ruang partisipasi yang lebih luas.
Kutipan Guy McPherson yang viral itu bukan hanya sindiran, tetapi undangan untuk merenung. Ekonomi tidak bisa tumbuh di atas ekosistem yang rapuh. Tanah yang longsor tidak peduli berapa angka pertumbuhan ekonomi kita.
Sungai yang meluap tidak berhenti karena APBD naik. Udara beracun tidak bisa dinegosiasikan dengan rapat-rapat anggaran. Alam bekerja dengan logikanya sendiri. Jika manusia tidak selaras dengannya, kita sendiri yang akan menuai akibatnya.
Opini ini ingin mengajak kita melihat lingkungan bukan sebagai beban, melainkan sebagai penyelamat. Menjaga hutan berarti menjaga pasokan air untuk pertanian dan industri. Menjaga sungai berarti menjaga pangan dan kesehatan masyarakat.
Menjaga udara berarti menjaga produktivitas tenaga kerja. Semua kembali kepada logika sederhana: tanpa lingkungan yang sehat, tidak ada ekonomi yang bisa bertahan.
Indonesia memiliki segala modal untuk menjadi negara yang kuat secara ekonomi sekaligus hijau secara ekologis. Kita memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, kekayaan biodiversitas yang tak tertandingi, dan budaya gotong royong yang dapat menjadi landasan pemulihan lingkungan skala besar.
Yang kita butuhkan adalah keberanian kolektif untuk mengubah cara pandang dan cara kerja. Ketika lingkungan dijaga, ekonomi akan mengikuti.
Ketika alam dipulihkan, masyarakat akan lebih sejahtera. Dan ketika kita bergerak bersama, bencana yang hari ini viral hanya akan menjadi pengingat bahwa kita pernah tersandung, tetapi memilih untuk bangkit lebih kuat.
Lingkungan bukan musuh ekonomi. Ia adalah nafas yang membuat ekonomi hidup.
Andi Setyo Pambudi
Penulis adalah Alumni Teknik Pengairan Universitas Brawijaya.
Catatan:Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi
matacelebes

0 Komentar