Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Pejabat 'Cawe-Cawe' bisa di jerat dengan Tindak Pidana Korupsi


UU PTPK perlu mengatur perbuatan cawe-cawe/jual pengaruh sebagai tindak pidana korupsi.


       Ilustrasi

Istilah “cawe-cawe” mulai populer di tengah masyarakat sejak bulan Mei tahun 2023. I Dewa Putu Wijana, Guru Besar Ilmu Linguistik Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan bahwa “cawe-cawe” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “ikut serta dalam menangani sesuatu”. Sejatinya, istilah cawe-cawe memiliki sifat netral, namun berubah menjadi negatif apabila diikuti dengan perbuatan yang bertentangan dengan moral, kesusilaan, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Meskipun cawe-cawe merupakan istilah yang baru populer pada tahun 2023, namun sejatinya praktik cawe-cawe pada proyek pemerintah (pengadaan barang dan jasa pemerintah), program pokok pikiran (pokir) anggota dewan perwakilan rakyat, mutasi pegawai/jabatan di lingkungan pemerintahan oleh “oknum pejabat”, dan hal lainnya telah ada sebelumnya. Pejabat yang melakukan cawe-cawe dapat berasal dari pejabat tinggi negara, pejabat kementerian/lembaga, pejabat pemerintah daerah, anggota dewan perwakilan rakyat, anggota partai politik, pejabat di lingkungan pengadaan barang dan jasa, pejabat militer, hingga aparat penegak hukum. Bahkan, anggota keluarga ataupun relasi dari pejabat tersebut juga ikut melakukan cawe-cawe.

Pada umumnya, bentuk cawe-cawe yang dilakukan pejabat ataupun keluarga atau relasi dari pejabat berupa (i) meminta pihak tertentu menjadi pelaksana pekerjaan; (ii) memfasilitasi pertemuan antara pihak tertentu dengan unsur pejabat pemerintah untuk mendapatkan sesuatu hal diluar mekanisme peraturan perundang-undangan; (iii) menitipkan pihak tertentu untuk bekerja atau memiliki jabatan tertentu di lingkungan pemerintahan ataupun badan usaha milik negara/daerah; (iv) meminta uang suap (biasa dikenal dengan istilah “fee” atau “jatah”) dengan nilai atau persetase tertentu agar dimenangkan sebagai pelaksana pekerjaan; dan sebagainya.

Sebagai contoh. Pertama, seorang kepala dinas di Kota Semarang mengungkapkan di persidangan menerima arahan dari suami Wali Kota Semarang untuk memberikan pekerjaan dengan kualifikasi penunjukan langsung (PL) kepada pihak tertentu yang telah ditentukan. Kedua, Hakim Ketua pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan melakukan pemeriksaan terhadap mantan kepala instansi penegak hukum di wilayah Tapanuli Selatan sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi jalan di Provinsi Sumatera Utara, lalu terungkap fakta bahwa aparat penegak hukum tersebut mengenalkan dan memfasilitasi pertemuan antara pelaksana pekerjaan dengan seorang kepala dinas terkait pekerjaan tersebut.

Ketentuan Tindak Pidana Korupsi terkait Cawe-Cawe

Pejabat (dalam hal ini pegawai negeri atau penyelenggara negara) yang menerima suatu hadiah atau janji, sehingga pejabat tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dipidana berdasarkan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU PTPK). Berikutnya, pejabat yang menerima hadiah sebagai akibat atas tindakannya yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dipidana berdasarkan Pasal 12 huruf b UU PTPK. Hal ini telah lazim diterapkan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.

Namun, bagaimana jika seorang pejabat melakukan cawe-cawe/jual pengaruh (trading influence) pada sesuatu hal yang tidak berkaitan dengan jabatannya? Penulis merujuk pada 2 perkara sebagai berikut.

Pertama, Majelis Hakim pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1195K/Pid.Sus/2014 tanggal 15 September 2014 menyatakan Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq yang pada saat itu merupakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) Komisi I periode 2009–2014 serta Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah terbukti mempertemukan Sdri. Maria Elizabeth Liman (

Pertama, Majelis Hakim pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1195K/Pid.Sus/2014 tanggal 15 September 2014 menyatakan Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq yang pada saat itu merupakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) Komisi I periode 2009–2014 serta Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah terbukti mempertemukan Sdri. Maria Elizabeth Liman (PT Indoguna Utama) dengan Sdr. Suswono selaku Menteri Pertanian kemudian Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq memimpin pertemuan tersebut. Sebelumnya, Sdri. Maria Elizabeth Liman (PT Indoguna Utama) meminta Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq agar membantu PT Indoguna Utama memperoleh rekomendasi penambahan kuota impor daging sapi dari Kementerian Pertanian. Atas hal tersebut, Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq menerima janji pemberian uang sebesar Rp 40.000.000.000,- (empat puluh miliar Rupiah) kemudian Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq telah menerima sebagian uang sebesar Rp 1.300.000.000,- (satu miliar tiga ratus juta Rupiah).

Kedua, Sdr. Romahurmuziy yang merupakan Anggota Komisi IX DPR-RI Periode 2014–2019 serta selaku Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dinyatakan terbukti menerima suap sebesar Rp 325 juta terkait tindak pidana korupsi jual-beli jabatan di Kementerian Agama sebagaimana telah dikuatkan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3019K/PID.SUS/2020. Uang tersebut dipergunakan terkait jual-beli jabatan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur.

Apabila memperhatikan perkara pertama dan perkara kedua di atas secara sempit, sekilas terdapat kesamaan bahwa pihak yang menerima uang ataupun janji tidak memiliki kewenangan berdasarkan jabatannya yang berkaitan dengan objek tindak pidana korupsi tersebut. Pertama, Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq selaku Komisi I DPR-RI maupun Presiden PKS tidak memiliki keterkaitan dengan penambahan kuota impor daging sapi ataupun menjadi mitra Kementerian Pertanian. Kedua, Sdr. Romahurmuziy selaku Anggota Komisi IX DPR-RI yang bukan mitra kerja Kementerian Agama ataupun selaku ketua partai politik tidak memiliki keterkaitan jabatan dengan mutasi jabatan di lingkungan Kementerian Agama.

Artidjo Alkostar, Mantan Hakim Agung menjelaskan bahwa perbuatan jual pengaruh (trading influence) sudah seharusnya diatur sebagai tindak pidana dalam UU PTPK karena praktik jual pengaruh tersebut sering digunakan oleh para pejabat untuk menerima uang suap, namun tetap dapat terhindar dari penegakan hukum. Dalam perkara Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq, Artidjo Alkostar yang bertindak sebagai Hakim Ketua di tingkat kasasi memandang telah terjadinya jual pengaruh yang dilakukan oleh Sdr. Luthfi Hasan Ishaaq, sehingga dipidana berdasarkan Pasal 12 huruf a UU PTPK. Sedangkan terhadap perkara kedua, Sdr. Romahurmuziy diyakini memanfaatkan pengaruhnya sebagai Ketua Umum PPP terhadap Sdr. Lukman Hakim Saifuddin selaku Menteri Agama yang merupakan kader PPP terkait jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama.

Penulis melihat bahwa penjatuhan pidana pada dua perkara tersebut merupakan terobosan hukum yang baik dalam menjerat pejabat yang melakukan praktik cawe-cawe/jual pengaruh yang selalu berlindung dengan alasan “tidak memiliki kewenangan berdasarkan jabatan yang dimilikinya” sebagaimana Pasal 12 huruf a maupun huruf b UU PTPK.

Meskipun demikian, dengan tetap memperhatikan asas legalitas dalam hukum pidana, maka tetap harus ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan cawe-cawe/jual pengaruh yang dilakukan oleh pejabat yang tidak memiliki kewenangan berdasarkan jabatannya tersebut dengan pejabat yang menerima hadiah yang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Karena itu, pejabat yang melakukan cawe-cawe/jual pengaruh tersebut dapat dipidana atas dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund) sebagaimana Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atas perbuatan sebagaimana Pasal 12 huruf a dan huruf b ataupun ketentuan lain dalam UU PTPK.

Keberadaan bentuk penyertaan “turut serta melakukan” dalam ajaran dasar memperluas pertanggung jawaban pidana beratPejabat 'Cawe-Cawe' bisa di jerat dengan Tindak Pidana Korupsi

Keberadaan bentuk penyertaan “turut serta melakukan” dalam ajaran dasar memperluas pertanggungjawaban pidana berarti para pelaku turut serta melakukan tindak pidana yang bekerja sama secara sadar dan bersama-sama secara fisik melakukan tindak pidana, meskipun tidak semua pelaku turut serta harus memenuhi seluruh unsur delik. Dalam turut serta melakukan tindak pidana, maka perbuatan masing-masing pelaku turut serta melakukan tindak pidana dilihat sebagai satu kesatuan dalam memenuhi rumusan delik.

Solusi Mengakhiri Pejabat Cawe-Cawe

Tindakan cawe-cawe/jual pengaruh (trading influence) yang dilakukan oleh pejabat yang tidak berkaitan langsung dengan kewenangannya terhadap pejabat lainnya yang memiliki kewenangan terkait hal tersebut untuk mempengaruhi kebijakan, pengadaan barang dan jasa pemerintah, program pokok pikiran (pokir), mutasi pegawai/jabatan, dan hal lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi di lingkungan pemerintahan telah menjadi “kanker” dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Meskipun secara jabatan tidak memiliki keterkaitan langsung, namun pejabat tersebut dapat saja memiliki hal lain yang digunakan untuk menekan pejabat lainnya seperti tekanan politik, tekanan dari pejabat yang lebih tinggi dengan ancaman pencopotan jabatan, hingga ancaman akan melakukan pengusutan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pejabat terkait.

Atas hal tersebut, UU PTPK perlu mengatur perbuatan cawe-cawe/jual pengaruh sebagai tindak pidana korupsi. Adapun rumusan perbuatannya sebagai berikut “setiap pegawai negeri maupun penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dari pihak lain, namun pegawai negeri maupun penyelenggara negara tersebut tidak memiliki kewenangan berdasarkan jabatannya terkait hal tersebut sehingga mempengaruhi pegawai negeri atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.”

 

*) Jefferson Hakim, S.H., Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi

Artikel  ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Mata Celebes

Posting Komentar

0 Komentar