Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Pasal 21 UU Tipikor besifat multi tafsir rawan di salah gunakan




Nasional- Mahkamah Konstitusi menerima lima orang yang mengajukan Permohonan resmi Uji materi Pasal 21 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Oknum tersebut bernama, Irianto Subiakto, Anggara Suwahyu, Emir Zullarwan Pohan, Zainal Abidin, dan Febi Yonesta.

Kelima pemohon menilai pasal yang kerap digunakan aparat penegak hukum tersebut bersifat multi tafsir, rawan disalahgunakan, dan bertentangan dengan prinsip pembentukan hukum pidana yang baik. 

Pasal 21 UU Tipikor mengatur ancaman pidana penjara antara 3 hingga 12 tahun, serta denda Rp150 juta hingga Rp600 juta, bagi siapa saja yang ‘dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung’ proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan perkara korupsi di pengadilan.

Para pemohon menyebut pasal tersebut seringkali dijadikan ‘pasal karet’ karena rumusannya dianggap kabur. “Dengan tafsir yang liar, Pasal 21 UU Tipikor berpotensi menyasar siapa saja, setiap warga negara Indonesia,” ujar Irianto Subiakto 

Senada dengan itu, Emir Zullarwan Pohan menilai frasa ‘mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung’ membuka ruang subjektivitas yang terlalu luas bagi penyidik maupun hakim.

Dalam berkas permohonannya, kelima pemohon menelusuri sejarah perumusan pasal tersebut sejak dibahas di Panitia Khusus DPR sekitar dua dekade lalu. 

Menurut mereka, sejak awal kekhawatiran soal potensi ‘pasal karet’ sudah disuarakan sejumlah anggota DPR, namun tetap diabaikan. Bahkan, penjelasan resmi pasal ini hanya berbunyi dua kata yaitu “cukup jelas.”

Anggara Suwahju menambahkan, bila dibandingkan dengan instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia, seperti United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) maupun United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC), rumusan Pasal 21 jelas lebih kabur. 

“Dalam konvensi internasional, yang dihukum hanyalah tindakan nyata, misalnya ancaman, intimidasi, atau suap kepada saksi. Begitu pula KUHP lama yang spesifik mengatur perbuatan menghalangi penyidikan dengan menyembunyikan barang bukti. KUHP baru 2023 bahkan sudah menempatkan obstruction of justice dalam bab tersendiri dengan rumusan yang lebih terang,” jelasnya.

Sementara Zainal Abidin menegaskan, penerapan Pasal 21 dalam praktik telah memunculkan persoalan nyata. Ia mencontohkan kasus advokat Lucas yang sempat dipidana hanya karena memberi saran kepada kliennya sebelum akhirnya dibebaskan melalui peninjauan kembali. 

Hal serupa juga dialami dalam kasus yang menjerat Hasto Kristiyanto yang sempat dituduh, meski proses penyidikan tetap berjalan. Serta advokat Roy Rening yang dijatuhi hukuman meski tindakannya dapat dipandang sebagai bagian dari pembelaan hukum.

“Pasal ini telah berubah menjadi alat represi yang berpotensi menjerat siapa saja tanpa batasan jelas,” tegasnya.

Untuk itu, para pemohon mendesak MK membatalkan Pasal 21 UU Tipikor. Bila KUHP baru mulai berlaku pada 2026, Indonesia tidak lagi memerlukan pasal karet yang hanya menambah luka dalam penegakan hukum.

Sebelumnya pasal serupa juga digugat oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen PDIP), Hasto Kristiyanto. Dalam permohonannya, Hasto meminta agar MK menurunkan hukuman maksimal dalam Pasal 21 UU Tipikor dari 12 tahun penjara menjadi 3 tahun.

Hasto menjelaskan, ia mengalami kerugian konstitusional karena pernah ditetapkan sebagai tersangka dan didakwa melakukan perintangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 

Ia berpendapat, Pasal 21 tidak memiliki batasan yang jelas mengenai definisi perbuatan menghalangi penyidikan. Selain itu, ia juga meminta norma Pasal 21 itu diperjelas dengan menyatakan perintangan dimaksud dilakukan secara melawan hukum. Diantaranya dengan kekerasan fisik, intimidasi, intervensi, dan suap. 

Hasto juga meminta perintangan pada Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor bersifat kumulatif, dalam arti tindakan dilakukan di semua tahapan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.

Sebagaimana diketahui, Hasto dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara karena terbukti memberikan suap kepada mantan komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, dengan tujuan menjadikan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Namun, hakim menyatakan ia tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan. Hasto akhirnya bebas setelah mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Amnesti tersebut menghapus kewajiban Hasto menjalani sisa masa hukumannya.

Hukum online

Posting Komentar

0 Komentar