Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Lembaga Swadaya Masyarakat MATA AIR Menyoroti Kebijakan Gila Gilaan Hingga Banjir Menerjang 3 Provinsi.

LSM - MATA AIR menyoroti Bencana Banjir Sumatera adalah Tamparan bagi Pemerintah, dengan target pertumbuhan ekonomi yang kebablasan serta  kebijakan yang tidak cermat dan tata kelola Lingkungan yang keliru.


Bencana alam berupa,  banjir bandang yang menerjang Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Barat yang menelan harta serta ribuan nyawa penduduk kian di perparah oleh kondisi krisis iklim Siklon Tropis, yang dipicu oleh keserakahan serta kebijakan yang keliru.

Siklon Tropis Senyar terbentuk seiring semakin tingginya Pemanasan muka air laut yang di akibatkan oleh krisis Iklim, ini menjadi Fenomena langka karena hal ini biasanya terjadi di lautan dan di kawasan pesisir, tapi kini mulai ke area daratan.


Banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat membuka tabir Infrastruktur ekologis yang sudah rapuh,sangat berkaitan erat dengan deforestasi, di sisi lain infrastruktur ekologis  seperti hutan alami sudah tidak mampu menahan daya rusak akan datangnya siklon tropis.

Infrastruktur ekologis yang sudah rapuh justru meningkatkan kerentanan dalam menghadapi berbagai ancaman iklim, seperti siklon tropis, La Nina, dan El Nino. Sebaliknya, penguatan infrastruktur ekologis menjadi bagian dari upaya adaptasi dan mitigasi akan terjadinya krisis iklim justru di abaikan.

Berdasarkan data, selama periode 2016-2025, deforestasi di Propinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah meluas kurang lebih 1 juta hektar. Selain itu, banyak izin usaha yang diberikan pemerintah untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam (SDA) pada case area Pegunungan Bukit Barisan, yang mengelola pada sektor pertambangan, perkebunan sawit, dan proyek energi. 

Terungkap, kurang lebih  600 unit perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dengan kegiatan berupa eksploitasi Sumber Daya Alam, hal ini di picu akan target Pemerintah tentang Pertumbuhan ekonomi nasional  yang semakin memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.


Sebagai informasi, pada awal Oktober 2025 lalu, pemerintah menyampaikan akan menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai delapan persen pada 2029.

"Terkait kebijakan nasional yang menargetkan pertumbuhan ekonomi delapan persen, sebenarnya bisa mempengaruhi kerentanan kita dan memicu krisis iklim semakin parah," ungkap Candra Tom Ketua LSM Mata air

Ia mengungkap  target pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen bisa mengancam jutaan penduduk Indonesia dalam empat tahun ke depan, bahkan tidak hanya di ketiga provinsi tersebut. 

Hal ini mengingat logika pertumbuhan ekonomi yang senantiasa berupaya menggenjot produksi dan konsumsi secara beriringan. 
Kenaikan produksi akan berdampak terhadap eksploitasi Sumber Daya Alam, untuk memenuhi peningkatan konsumsi. 

Sementara itu, kebijakan transisi energi untuk adaptasi dan mitigasi krisis iklim di Indonesia juga disebut diarahkan ke model ekonomi ekstraktif melalui eksploitasi Sumber Daya Alam.

"Kalau kami melihat kebijakan Pemerintah Indonesia,tentunya akan mendorong peningkatan eksploitasi ekstraksi," tutur Tom

Indonesia mengadopsi model transisi energi berbasis lahan yang  berpotensi membabat hutan. Misalnya, bioetanol yang diproduksi perkebunan tebu atau biofuel dari perkebunan kelapa sawit. Kebijakan ini akan mengancam Jutaan hektar hutan alami yang akan dialih fungsikan menjadi perkebunan tebu atau kelapa sawit untuk proyek transisi energi tersebut.

"Bisa jadi, kemungkinan hutan-hutan di Bukit Barisan, secara khusus di Sumatera, dan (secara) umum di seluruh Indonesia akan terancam oleh kebijakan biofuel 100 persen ini" terangnya

Ketua LSM Mata air  Candra Tom menilai, model adaptasi dan mitigasi krisis iklim di Indonesia hanya mengotak-atik sektor hilir yang berorientasi bisnis dengan keserakahan demi mendapatkan keuntungan dan kekayaan untuk Pribadi dan Kelompoknya.(**)

 matacelebes

Posting Komentar

0 Komentar