Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Nature Based Solution, Strategi Ilmiah Mitigasi Bencana Keairan



Nature Based Solution (NbS) semakin menguat sebagai strategi ilmiah mitigasi bencana keairan di Indonesia, seiring meningkatnya kejadian banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah. Pendekatan ini menempatkan fungsi alami ekosistem sebagai bagian integral dari upaya pengurangan risiko bencana berbasis sains. 

Isu tersebut dibahas oleh Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam Seri Webinar PRLSDA ke-13 bertajuk Nature Based Solution sebagai Strategi Mitigasi Bencana Keairan (Perspektif Hidropedologi) yang diselenggarakan di Jakarta, pada Jumat (19/12/2025)

Kepala PRLSDA-BRIN, Luki Subehi, menjelaskan bahwa meningkatnya kejadian bencana keairan tidak dapat dilepaskan dari kombinasi faktor iklim dan meteorologi, serta perubahan tutupan dan fungsi lahan. Fenomena banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di berbagai wilayah mencerminkan adanya proses degradasi ekosistem yang berlangsung dalam jangka panjang.

“Ini memperlihatkan adanya gangguan keseimbangan tanah dan air serta menurunnya fungsi ekosistem dalam mengatur aliran air,” ujar Luki.

Ia menambahkan bahwa pendekatan mitigasi bencana tidak bisa terus mengandalkan solusi struktural dan fisik semata. Menurutnya, strategi berbasis alam semakin relevan karena bekerja sejalan dengan karakter lingkungan dan proses alami di suatu wilayah.

“Pendekatan mitigasi perlu diarahkan pada solusi berbasis alam yang sesuai dengan karakter wilayah,” kata Luki.

Peneliti Ahli Utama PRLSDA-BRIN, Asep Mulyono, memaparkan bahwa hingga awal November 2025, banjir masih menjadi bencana yang paling sering terjadi di Indonesia, disusul oleh tanah longsor. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bencana keairan tidak hanya dipicu oleh faktor meteorologi, tetapi juga dipengaruhi oleh topografi serta degradasi ekosistem.

“Bencana alam tidak bisa dihindari, tetapi campur tangan manusia sangat menentukan skala kerusakan yang ditimbulkan,” kata Asep.

Ia menjelaskan bahwa hilangnya tutupan hutan meningkatkan aliran permukaan yang memicu erosi dan sedimentasi sungai, sehingga memperparah kejadian banjir dan longsor. Dalam konteks ini, pendekatan hidropedologi menjadi penting untuk memahami interaksi tanah dan air dari skala mikro hingga bentang lahan.

“Vegetasi berperan menurunkan limpasan permukaan, meningkatkan infiltrasi, dan memperkuat stabilitas tanah, terutama di wilayah lereng,” ujarnya.

Asep menegaskan bahwa Nature-Based Solution tidak dapat dipahami sekadar sebagai kegiatan penanaman pohon, melainkan sebagai pengelolaan ekosistem yang harus berbasis bukti ilmiah dan karakter wilayah.

“Nature-Based Solution bukan sekadar menanam pohon, tetapi bagaimana ekosistem dikelola berdasarkan sains,” kata Asep.

Menurutnya, penerapan strategi berbasis alam perlu diarahkan pada aforestasi lahan-lahan marginal dan reforestasi kawasan hutan yang rusak, sekaligus memperkuat perlindungan hutan lindung dan kawasan konservasi yang masih ada. Ia menekankan bahwa keberhasilan penanaman sangat ditentukan oleh kesesuaian jenis pohon dengan zona agroekologi, termasuk pengaturan jarak tanam dan pertimbangan tingkat transpirasi tanaman.

“Tidak semua pohon bisa ditanam di semua tempat. Jenis, jarak tanam, dan tingkat transpirasi harus disesuaikan dengan tujuan dan kondisi wilayahnya,” ujarnya.

Selain itu, Asep menyoroti pentingnya waktu penanaman dan perawatan pascatanam. Penanaman yang dilakukan setelah musim hujan dinilai lebih efektif untuk meningkatkan tingkat keberhasilan tumbuh tanaman.

“Tanpa perawatan dan pengawasan yang konsisten, fungsi mitigasi dari penanaman pohon tidak akan tercapai,” kata Asep.

Senior Lecturer Faculty of Sustainable Agriculture Universiti Malaysia Sabah, Muhamad Askari, menyampaikan bahwa Nature Based Solution perlu diterapkan dalam kerangka pengelolaan lanskap secara menyeluruh dari hulu hingga hilir. Menurutnya, air tidak mengalir langsung ke hilir, tetapi melewati kanopi, lantai hutan, dan sistem perakaran.

 “Pendekatannya harus berbasis zonasi. Apa yang ditanam di hulu, tengah, dan hilir harus berbeda, sesuai fungsi hidrologi dan risikonya,” kata Askari.

Ia menilai bahwa agroforestri dan praktik pertanian yang baik dapat menjadi solusi antara di wilayah yang telah mengalami perubahan fungsi lahan. Sistem campuran dinilai lebih mampu menekan limpasan permukaan, mengurangi erosi, dan meningkatkan stabilitas tanah dibandingkan sistem monokultur.

“Pengelolaan pertanian yang tepat dapat berkontribusi nyata dalam menurunkan risiko bencana keairan,” ujarnya.

BRIN menegaskan perannya dalam menyediakan dasar ilmiah bagi penguatan mitigasi bencana keairan di Indonesia. Pendekatan Nature Based Solution berbasis hidropedologi dipandang sebagai strategi yang relevan dan kontekstual untuk memperkuat ketahanan ekosistem dan masyarakat menghadapi peningkatan bencana hidrometeorologi. 

Humas BRIN (Badan Riset Inovasi Nasional)
Matacelebes

Posting Komentar

0 Komentar