Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Indonesia Darurat Deforestasi Peringkat Dua Dunia, Sungguh memilukan.


         Foto: Pembalakan liar

Indonesia dengan kekayaan hutan tropisnya kini tengah menghadapi ironi yang sangat amat memilukan. Berdasarkan data World Population Review (WPR), Indonesia menjadi negara dengan laju deforestasi terparah karena kehilangan hutan tropis primer seluas 10,7 juta hektare atau sebesar 22,8% setelah negara Brazil. 

Deforestasi ini hadir atas kepentingan ekonomi seperti pembangunan infrastruktur, pertambangan, serta perluasan perkebunan di kawasan hutan.

Lajunya deforestasi tanpa adanya penyeimbangan tentunya dapat menimbulkan masalah yang serius seperti terjadinya bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, yang turut membawa kayu gelondongan dari hulu yang rusak akibat deforestasi.

Berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) secara ideal telah menyampaikan pembatasan kegiatan yang dapat merusak hutan, dimulai pada Pasal 1 Ayat 11 yang menegaskan bahwa izin pemanfaatan hasil hutan kayu yang perizinannya bermuara dari persetujuan Menteri. 

Pemberlakuan izin tersebut seharusnya dapat menjadi tameng hukum atas tindak kejahatan dalam melindungi kawasan lindung.

Namun, pada realitanya, laju deforestasi semakin meluas, hal tersebut menunjukkan praktik pembukaan lahan untuk kepentingan ekonomi seperti pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur kerap terjadi dan memaksa konversi kawasan. 

Dari hal tersebut memunculkan pertanyaan besar, apakah proses konversi ini seringkali menjadi “legalisasi” deforestasi yang berkedok pembangunan?

Padahal penebangan liar, pembalakan liar, dapat dicegah sesuai dengan Pasal 6 Ayat 3, di mana penghilangan kesempatan perusakan hutan dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat. 

Namun pada realitanya, ketika masyarakat sipil maupun aktivis lingkungan melakukan pencegahan, penolakan dengan menyuarakan tindak perusakan hutan tersebut justru menghadapi intimidasi dan kriminalisasi dari pihak-pihak terkait yang memiliki kepentingan tertentu.

Banyak kasus kekerasan telah terjadi akibat tindakan perusakan hutan yang dialami oleh masyarakat sipil dan aktivis lingkungan sekaligus, salah satunya berdasarkan data yang dilansir dari Forest People Programme (FPP) terkait penyerangan PT. Toba Pulp Lestari atas pengambilan tanah oleh perusahaan, tercatat 502 orang yang mengalami kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, bahkan kehilangan nyawa.

Kegagalan negara dalam mengamankan, menegakkan batasan atas aturan yang dibuat dan memfasilitasi peran pengawasan masyarakat ini menjadi celah utama yang menjelaskan mengapa deforestasi terus terjadi dan menempatkan Indonesia di urutan teratas secara global.

Kesenjangan antara hukum dan praktik realita semakin terlihat dalam penegakan hukumnya, terutama dalam Pasal 10 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), yang menjelaskan permasalahan-permasalahan terkait perusakan hutan harus didahulukan dari permasalahan lain yang tengah terjadi untuk segera diajukan ke sidang pengadilan.

Namun faktanya, kasus-kasus pembalakan liar besar seringkali macet bahkan berhenti ditengah jalan di tingkat penyidikan, dileburkan menjadi kasus pidana ringan lain yang vonis akhirnya tidak sebanding dengan skala kerusakan yang diakibatkan. 

Padahal hal-hal yang berkaitan terkait perusakan hutan merupakan permasalahan serius yang harus segera di selesaikan. Hal tersebut menjelaskan bahwa UU P3H sangat amat lemah karena beberapa oknum tidak dapat taat akan aturan yang telah dibuat oleh negara.

Kelemahan inipun turut diperburuk oleh masalah keamanan di lapangan, di mana tindakan intimidasi berupa ancaman terhadap keselamatan petugas pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar sangat amat dilarang, tercermin dalam pasal 23. Hadirnya pasal tersebut menjelaskan bahwa pada realitanya petugas tersebut dapat dikenai intimidasi atau ancaman serius terutama terhadap pihak-pihak yang memiliki kekuatan ekonomi atau politik, bahkan kepentingan tertentu.


Apabila hal tersebut benar terjadi, hal ini dapat memberikan ruang bagi para pelaku untuk terus-menerus melakukan perusakan hutan yang dapat mengakibatkan bencana yang dapat lebih buruk dari bencana yang telah terjadi di Sumatera dan Aceh pada tahun ini.

Lemahnya komitmen untuk patuh terhadap Undang-Undang P3H terkhusus pada pasal 10 dan 23 secara langsung menunjukkan kegagalan serius atas implementasi UU di Indonesia itu sendiri. 

Hal tersebut menjelaskan bahwa akar masalah mengapa  hutan-hutan di Indonesia banyak yang dibabat habis oleh pihak-pihak dengan kepentingan tertentu untuk meraup keuntungan pribadi tanpa memedulikan dampak kedepannya dengan menabrak prosedural dan regulasi yang telah di tetapkan yang pada akhirnya berakibat memperparah bencana ekologis.

Lajunya deforestasi berdasarkan data WPR kini telah menjadi bencana nyata, banyak korban berjatuhan, fasilitas serta akses jalan yang rusak akibat deforestasi memberikan kerugian yang sangat amat besar, terlebih banyaknya kayu gelondongan yang terbawa arus menjadi bukti fisik yang tak terbantahkan bahwa tragedi ini bukan sekadar akibat cuaca, melainkan diperparah oleh praktik pembalakan liar yang seharusnya dapat dicegah oleh UU P3H. 

Dengan demikian, bencana di Sumatera dan Aceh adalah bentuk nyata kebal hukum yang dihasilkan oleh lemahnya penegakan hukum yang tercantum dalam undang-undang tersebut.

matacelebes

Posting Komentar

0 Komentar