matacelebes - Banjir di Sumatera telah mengungkap kerentanan struktural negara ini. Ketika daerah aliran sungai kolaps dan tutupan hutan menipis hingga di bawah ambang batas kritis, tanpa di sadari ancaman kerugian ekonomi dan manusia yang diakibatkannya.
Banjir di tiga Propinsi yang disebut sebagai tragedi ekologi terbesar di Indonesia dalam 35 tahun terakhir, bukanlah kejutan. Ini sudah bisa diprediksi dan Siklon Senyar hanya memicu apa yang disediakan oleh landskap alam yang sudah rusak.
Organisasi serta penggiat lingkungan, Peneliti, dan masyarakat lokal di ketiga Provinsi tersebut telah berulang kali memperingatkan tentang menurunnya tutupan hutan, kerusakan Daerah Aliran Sungai, serta ekspansi perkebunan dan pertambangan yang tak terkendali.
Laporan yang mendokumentasikan penipisan hutan penyangga di hulu Aceh, kerentanan daerah aliran sungai di Sumatera Barat, dan pesatnya alih fungsi lahan di Sumatera Utara telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Peringatan-peringatan itu, sayangnya, bagaikan teriakan di padang pasir, tak pernah diterjemahkan menjadi tindakan pencegahan serta tidak ada upaya mitigasi serius yang dijalankan.
Sebaliknya, izin malah terus mengalir pada kepentingan-kepentingan bisnis dan politik. Ini seolah-olah memperkuat fiksi berbahaya bahwa kemajuan ekonomi berasal dari kegiatan ekstraksi sebanyak mungkin, secepat mungkin.
Asumsi ini terbukti keliru menurut hasil studi terbaru Center for Economic and Law Studies (Celios). Melalui studi "Dampak Ekonomi Bencana Banjir Sumatera", Celios mengkuantifikasi kerugian ekonomi dalam berbagai dimensi, rumah yang rusak dan hancur, jalan dan jembatan yang runtuh, lahan pertanian yang terendam, perdagangan dan mobilitas yang terganggu, serta dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan.
Total kerugian mencapai Rp 68,67 triliun atau 0,29 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Itu artinya, setara dengan semua anggaran tahunan beberapa kementerian ludes hanya dalam hitungan hari.
Angka pasti untuk setiap kabupaten bervariasi dan kesimpulannya, kerugiannya jauh lebih besar ketimbang pendapatan fiskal yang dihasilkan dari kegiatan ekstraktif yang merusak pelindungan ekologi di area ini.
Studi tersebut memberi perubahan perspektif yang krusial dan mendesak. Selama beberapa dasawarsa, para pembuat kebijakan telah memperlakukan pelindungan lingkungan sebagai biaya (Cost) sesuatu yang harus diminimalkan, ditunda, atau dinegosiasikan. Penilaian Celios menunjukkan sebaliknya, biaya ekonomi riil justru timbul dengan membiarkan ekosistem gagal.
Celios, bersama Greenpeace Indonesia, juga menemukan bahwa desa-desa dengan ekonomi berbasis pertambangan secara signifikan lebih rentan terhadap bencana ekologis dibanding desa-desa tanpa Pertambangan. Desa yang sumber ekonominya dari tambang 2,25 kali lipat lebih berisiko banjir dibanding desa dengan pendapatan non-pertambangan.
Apa yang diperoleh negara dari perizinan adalah pendapatan yang bisa dibelanjakan, yang dinikmati oleh segelintir aktor; tapi apa yang hilang dan ditanggung publik jauh lebih besar nilainya karena itu akan terulang, berlipat ganda, dan meluas.
Banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat lebih dari sekadar tragedi. Banjir ini merupakan peringatan. Banjir ini menunjukkan bahwa Indonesia membayar jauh lebih banyak untuk bencana yang disebabkan oleh deforestasi daripada keuntungan yang diperolehnya dari deforestasi itu sendiri.
Hutan bukan sekadar komoditas yang bisa ditebang untuk perkebunan atau pertambangan. Hutan adalah infrastruktur ekonomi, infrastruktur yang hidup. Hutan mengatur aliran air, mencegah erosi tanah, melindungi pertanian, dan menstabilkan iklim lokal. Merusaknya sama saja dengan merusak fondasi pembangunan.
Melindungi hutan dan daerah aliran sungai bukan sekadar agenda lingkungan, melainkan juga keharusan demi daya tahan ekonomi nasional. Kecuali para pembuat kebijakan akhirnya memperhitungkan kenyataan ini, negara akan terus menukar keamanan jangka panjang dengan pendapatan jangka pendek.
Dengan menjaga dan merawat hutan akan Memulihkan daerah aliran sungai yang terdegradasi dengan biaya jauh lebih murah daripada membangun kembali jalan, jembatan, dan desa setiap beberapa tahun. Memperkuat pelindungan hutan akan mencegah kerugian besar yang terjadi setiap kali bencana melanda.
Candra Tom
Ketua LSM Mata air

0 Komentar