Nasional - Mahkamah Konstitusi (MK) masih memproses uji materiil Pasal 21 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah terakhir melalui UU No.20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Perkara yang teregistrasi No.136/PUU-XXIII/2025 itu menilai Pasal 21 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 224 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945.
Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, berpendapat Pasal 21 tidak boleh dipahami secara sempit atau dianggap sebagai pasal karet. Justru sebagai perisai integritas bagi proses hukum dalam pemberantasan korupsi sebuah benteng moral yang melindungi kejujuran aparat dan kemurnian proses keadilan dari pengaruh kekuasaan dan uang.
“Pasal 21 hadir untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak dijangkau oleh KUHP maupun KUHAP. Norma ini berfungsi melindungi proses keadilan itu sendiri, bukan sekadar menjerat pelaku korupsi,” katanya. Jumat (17/10/2025).
Pakar Pidana: Norma Buruk Pasal 21 UU Tipikor Melahirkan Kontradiksi
Uji Materiil Pasal 14 UU Tipikor: Kontroversi Blanket Provision dan Korupsi Lintas Sektor
Tanpa Pasal 21 tahapan hukum mulai dari penyelidikan, pengumpulan alat bukti, penyidikan, sampai penuntutan dan persidangan rentan terhadap distorsi dan manipulasi.
Bukti dapat dihilangkan, saksi ditekan, dan arah penyidikan dikendalikan kekuatan uang atau kekuasaan struktural. Pasal 21 tak sekedar obstruction of justice, melainkan instrumen protection of the justice process. Perlindungan terhadap kebenaran dan integritas penegakan hukum itu sendiri.
Azmi menelusuri sejak awal pembentuk UU menempatkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sifat luar biasa ini menuntut adanya perangkat hukum yang juga luar biasa, baik dari segi norma maupun mekanisme penegakannya.
Korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, sekaligus mesin perusak sistemik yang melemahkan pondasi perekonomian dan memperlambat kesejahteraan masyarakat.
Banyak fakta menunjukkan berbagai upaya menggagalkan penyidikan kasus korupsi bukan karena pelaku utamanya, tapi jejaringnya. Adanya pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, pengaruh ekonomi, atau kedekatan struktural dengan organ kekuasaan.
Aktornya bisa oknum pejabat, praktisi hukum yang menyimpang dari etika, maupun kelompok kepentingan tertentu yang menggunakan kekuatan uang dan posisi untuk memanipulasi arah proses hukum.
“Mereka bukan pelaku korupsi dalam arti mengambil uang negara secara langsung, namun menjadi simpul yang melindungi atau dapat dikatakan jadi bagian dari penghalang keadilan yang berupaya mengganggu maupun melumpuhkan mata rantai penegakan hukum,” ujar Azmi.
Penghapusan atau pelemahan terhadap Pasal 21 UU Tipikor menyebabkan benteng moral dan pilar etik sistem pemberantasan korupsi jadi ambyar. Proses hukum semakin mudah diintervensi, saksi, dan penyidik diintimidasi. Pasal 21 bukan ancaman, harus dimaknai sebagai penjaga kemurnian proses keadilan.
Jika dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan, solusinya bagi Azmi yang menjabat Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bukan mencabut norma, tapi memperkuat tata kelola penerapan yang proporsional, transparan, dan berbasis alat bukti yang sah.
Tantangan sesungguhnya bukan mencabut Pasal 21, tapi bagaimana memastikan penerapannya berjalan dengan hukum yang jelas, akuntabel, dan rasional.
Sebelumnya, pakar pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, membeberkan sejumlah indikasi yang menunjukan norma buruk Pasal 21. Misalnya, tidak merumuskan unsur-unsur perbuatan yang dapat dipandang sebagai bentuk perbuatan obstruction of justice.
Pasal 21 sejatinya bukan unsur-unsur perbuatan seperti umumnya rumusan delik sebagaimana dipahami selama ini. Tapi Pasal 21 merumuskan definisi obstruction of justice yang implementasinya akan menimbulkan kesulitan karena sangat membutuhkan pemahaman tentang definisi itu.
“Akibatnya, penerapannya sangat tergantung pada subjektivitas penegak hukum. Jadi, bukan bergantung pada kemauan pembentuk undang-undang,” kata Chairul memberikan keterangan kepada Mahkamah dalam pemeriksaan perkara No.136/PUU-XXIII/2025, Rabu (16/10/2025) lalu.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Eva Achjani Zulfa, dalam kesempatan itu menyebut Pasal 21 UU Tipikor dinilai unik karena sifatnya delik aduan, bukan delik biasa. Artinya, pembentuk UU berusaha melindungi pihak-pihak tertentu yang sebetulnya tidak bisa dituntut atas perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan itu.
“Hukum pidana yang sangat humanity, gitu ya, sangat manusiawi, tercermin ketika kita membaca Pasal 221 ayat (2) yang mengatakan bahwa istri, anak, atau keluarga dalam derajat kedua tidak bisa dituntut. Menariknya adalah istri, anak saja tidak bisa dituntut, apalagi terhadap pelaku,” urainya.
Prof Eva berpendapat frasa melawan hukum harus dicermati untuk memahami norma Pasal 21. Jangan sampai perbuatan yang tidak melawan hukum, seperti mengajukan gugatan keperdataan, kerja-kerja jurnalistik menyampaikan proses peradilan pidana, atau melakukan pra peradilan dianggap sebagai perbuatan yang menghalang-halangi penyidikan.
Padahal secara hukum itu adalah saluran-saluran yang dapat dipakai untuk mengevaluasi proses peradilan pidana yang berjalan.
“Saya kira ini menjadi penting Yang Mulia, untuk kemudian merumuskan kembali dan menjadikan norma di dalam Pasal 21 ini berfungsi sebagaimana yang kita harapkan,” tutupnya.
Redaksi
0 Komentar