Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Komunitas adat Karampuang Tegas menolak Tambang Emas.



       Rumah adat Karampuang (Sinjai)


Makassar,matacelebes - Dusun  Karampuang, terletak di Desa Tompobulu, Kabupaten Sinjai, dengan  kurikulum kehidupan melalui Pelajaran iklim, Pendekatan adat, Praktik ritual, dan kepemimpinan kolektif

● Masyarakat adat Karampuang di Sulawesi Selatan memiliki model pendidikan untuk membangun kesadaran lingkungan.

● Pendekatan Karampuang memadukan adat, Islam, dan sains secara selektif.

● Pendidikan iklim paling efektif adalah yang lahir dari pengalaman kolektif, ritus, dan aksi nyata, bukan hafalan istilah.

Dampak perubahan iklim kini semakin nyata. Banjir bandang di Bali hingga kekeringan di Nusa Tenggara, semua berimbas pada produktivitas pertanian dan ketahanan pangan di berbagai daerah.

Laporan Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2023 menyebutkan bahwa kawasan tropis, termasuk Indonesia, menjadi yang paling rentan terhadap pemanasan global.

Di tengah krisis ini, masyarakat adat Karampuang di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan sudah punya berbagai praktik adat yang bisa menjadi benteng pertahanan ekologis menghadapi perubahan iklim. Mulai dari kepemimpinan, aturan adat, hingga ritual tahunan yang masih dipertahankan sampai saat ini.

Kepemimpinan kolektif dengan akar kosmologi
Karampuang memiliki struktur kepemimpinan unik yang disebut Ade’ Eppae empat pemimpin adat.

Struktur ini terdiri atas empat figur: Arung/Tomatoa atau pemimpin adat mewakili elemen api yang menentukan arah & legitimasi aturan. 

Ada juga Gella atau perdana menteri mewakili elemen tanah dan berperan sebagai komando agraria dan kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, Sanro atau dukun mewakili elemen angin dan mengurus masalah kesehatan dan pengetahuan musim. 

Terakhir, Guru mewakili elemen air dan berperan sebagai penggerak pendidikan dan transmisi nilai-nilai kehidupan.

Keempat figur itu melambangkan elemen alam sekaligus menyeimbangkan kekuasaan dalam pengambilan keputusan. 

Jika Arung marah, maka Guru menenangkan. Metafora ini bukan sekadar simbol, melainkan arsitektur sosial yang memastikan musyawarah berjalan setara.


Dalam perspektif pendekatan untuk membangun kesadaran ekologi (ekopedagogi), Ade’ Eppae bisa dipahami sebagai governance pedagogy atau pendidikan yang mengajarkan cara mengelola urusan negara dan masyarakat yang selaras dengan alam.

Model ini sejalan dengan literatur traditional ecological knowledge (TEK) yang menekankan pentingnya pengetahuan adat sebagai basis adaptasi iklim.

Asal-usul, tradisi, cara hidup, cara menjaga alam, hingga merawat sesama. Semuanya berakar dari pengetahuan lokal. Ada yang sebatas mitos dan tinggal cerita, ada juga yang masih hidup dan relevan, bahkan menjawab masalah terkini.

Karampuang juga mengenal Paseng ri Ade’ aturan yang mengikat perilaku ekologis warga, seperti menebang pohon wajib disertai penanaman bibit pengganti, pengambilan madu harus sesuai fase bulan, dan sebagian hasil panen wajib diserahkan ke dewan adat, sebagai wujud prinsip rezeki bersama. 

Sanksi sosial dijatuhkan bagi pelanggar, bahkan hingga pencabutan hak atas tanah adat.

Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan sekadar warisan budaya, tetapi perangkat regulasi ekologis yang konkret.

Studi di India juga membuktikan bahwa sistem hukum adat mampu menopang keberlanjutan hutan lebih baik dibanding aturan negara yang top-down.

Ritual sebagai kurikulum hidup
Pendidikan lingkungan di kalangan warga Karampuang.
Warga desa adat Karampuang menjaga alam melalui ritual, salah satunya ‘Mabbissa Lompo’.

Setiap tahun, masyarakat Karampuang menyelenggarakan ritual Mappogau Sihanua, sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan hasil panen. 
Rangkaian acara ini meliputi musyawarah mabbahang  kerja bakti kolektif mabbaja-baja  pendakian spiritual menre bulu hingga doa penutup.


Anak-anak belajar tanggung jawab sosial saat membersihkan jalan, pemuda mendokumentasikan ritual lewat media sosial, sementara perempuan khususnya Sanro menurunkan pengetahuan herbal dan nilai spiritual kepada generasi muda.

Ritual ini berfungsi sebagai kurikulum ekologis yang hidup: menanamkan kesadaran bahwa menjaga hutan, air, dan tanah adalah syarat keberlangsungan hidup. 

Model ini sejalan dengan land-based pedagogy di Kanada yang terbukti efektif menumbuhkan advokasi iklim di kalangan remaja.

Padukan adat, Islam, dan sains
Masyarakat adat Karampuang memadukan adat, Islam dan sains
Simbol nabi di desa adat Karampuang, bukti sinergi agama dan adat.

Menariknya, Karampuang tidak menolak modernitas. Moralitas agama Islam menyertai ritual adat, Mereka juga punya pengalaman tentang cuaca dan digunakan sebagai kalender tradisional.

Mereka menerima teknologi untuk mendukung pertanian selama tidak merusak alam. Namun, ketika tambang emas berencana masuk, komunitas menolak keras karena dinilai mengancam hutan suci.

Sikap selektif ini menunjukkan kemampuan komunitas bernegosiasi dengan teknologi, menolak yang destruktif, dan mengadopsi yang mendukung keberlanjutan.

Pendekatan ini sejalan dengan riset yang menekankan pentingnya ko-produksi pengetahuan antara adat dan sains dalam adaptasi iklim. Alih-alih benturan, yang terjadi adalah hibridisasi atau percampuran pengetahuan.

Relevansi untuk Indonesia
Apa pelajaran dari Karampuang bagi Indonesia?

Pertama, pendidikan iklim tidak boleh berhenti pada literasi kognitif. Indonesia masih cenderung mengukur keberhasilan pendidikan lingkungan dari seberapa banyak istilah ilmiah yang dihafal siswa, bukan dari aksi nyata yang mereka lakukan.

Hasilnya adalah knowing–doing gap: tahu banyak, tapi bertindak sedikit. Karampuang menunjukkan bahwa pembelajaran ekologis paling efektif justru lahir dari ritus, kerja kolektif, dan teladan sehari-hari.

Kedua, pengakuan formal terhadap masyarakat adat melalui regulasi, seperti Perda Kabupaten Sinjai No. 1/2019, perlu ditindaklanjuti dengan program pendidikan berbasis komunitas. 
Tanpa itu, pengakuan hanya berhenti sebagai status administratif. 
Pengalaman Filipina membuktikan bahwa pendidikan iklim berbasis komunitas meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat pulau.

Ketiga, ekopedagogi Karampuang selaras dengan agenda global education for sustainable development (ESD) yang menekankan pembelajaran berbasis tempat, partisipatif, dan berorientasi aksi. 
Jika diadopsi secara luas, ia bisa menjembatani target SDG 4 (pendidikan berkualitas) dan SDG 13 (aksi iklim).

Di tengah krisis iklim yang kian genting, Karampuang memberi pelajaran sederhana tapi mendalam: pendidikan iklim paling efektif adalah yang dihidupi, bukan sekadar diajarkan.

Paseng, ritual, dan kepemimpinan kolektif bukan hanya bagian dari budaya, tetapi instrumen pendidikan yang menumbuhkan tanggung jawab ekologis sejak dini.

Ketika sekolah formal sering kali gagal menautkan teori dengan realitas, komunitas adat justru menawarkan kurikulum hidup yang sarat makna.

Indonesia, dengan kekayaan komunitas adatnya, sebenarnya memiliki banyak laboratorium ekopedagogi serupa. Tantangannya adalah bagaimana negara, akademisi, dan masyarakat luas mau belajar dan memberi ruang kepada pengetahuan yang lahir dari tanah adat.(**)


A.Hasdiansyah, A.Jusman Tharikh, Irmayani  
Universitas Muhammadiyah Pare Pare.

Redaksi

Posting Komentar

0 Komentar