Syamian Rahman, S. H.
Makassar,matacelebes - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan peristiwa politik penting dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Kontestasi ini sering kali melibatkan janji-janji politik, termasuk yang berkaitan dengan reformasi birokrasi dan tata kelola Pemerintahan Daerah.
Perubahan kepemimpinan yang potensial terjadi pasca pilkada menjadi sumber kekhawatiran bagi Aparat Sipil Negara (ASN) di Daerah, terutama terkait kemungkinan mutasi atau perubahan posisi.
Kekhawatiran ini tidak tanpa alasan, karena sejarah menunjukkan bahwa pergantian Kepala Daerah sering kali diikuti dengan perombakan struktural dalam birokrasi lokal.
Mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan sebuah dinamika yang selalu menjadi problematika dalam pengaturan manajemen kepegawaian di setiap tingkatan pemerintahan. Walaupun peraturan perundang-undangan telah mengatur secara rinci skema pelaksanaan mutasi, namun masih banyak ditemukan pelaksanaan mutasi yang tidak sesuai prosedur bahwa terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Pelaksanaan mutasi tidak semata-mata dapat sesuai dengan keinginan mutlak kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Dalam pelaksanaan mutasi telah diatur secara rinci dalam Pasal 73 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara jo Pasal Pasal 190 sampai dengan Pasal 197 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil jo Peraturan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi.
Namun demikian pelaksanaan mutasi di berbagai daerah di Indonesia oleh kepala daerah masih saja terjadi, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal tersebut karena berbagai faktor seperti ketidakcocokan gaya kepemimpinan, ketidaksukaan secara personal, terdapat kepentingan politik dan juga karena alasan ketidakloyalitasan terhadap kepala daerah.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya mutasi kepada ASN. Diantaranya karena terdapat hubungan nepotisme antara kepala daerah dan ASN yang akan ditempatkan mengisi jabatan.
Nepotisme ini biasanya terjadi sebagai bentuk balas budi politik karena telah mendukung saat pemilihan kepala daerah serta ada hubungan persaudaraan atau pertemanan.
Kedua, terdapat dendam politik karena ASN yang dimutasi tidak mendukung kepala daerah terpilih saat pemilihan kepala daerah.
Ketiga, ASN tidak loyal dan tidak melakukan perintah kepala daerah, sehingga hal tersebut mengindikasikan terjadinya penyalahgunaan wewenang yang merupakan suatu tindakan Maladministrasi.
Dalam hukum Administrasi, sebuah keputusan dinyatakan memenuhi keabsahan yaitu harus memenuhi unsur wewenang, prosedur dan substansi. Artinya sebuah keputusan dinyatakan memenuhi azas legalitas jika pejabat yang membuat memiliki kewenangan, sesuai dengan prosedur dalam penetapannya dan substansi keputusannya tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Mutasi yang dilakukan semata-mata karena pertimbangan politik dan bukan berdasarkan kinerja atau kebutuhan organisasi dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang, sebab mutasi tersebut dilakukan sebagai bentuk apresiasi terhadap dukungan yang diberikan oleh ASN kepada calon kepala daerah yang terpilih.
Ini bisa berupa promosi jabatan, penempatan di posisi yang lebih baik, atau bahkan penempatan di daerah yang lebih diminati.
Sebaliknya, ASN yang dianggap tidak mendukung atau bahkan mendukung calon lawan politik bisa mengalami mutasi yang tidak menguntungkan, seperti penempatan di posisi yang kurang strategis, penurunan jabatan, atau bahkan pembebasan dari jabatan.
Penulis : Syamian Rahman,SH
Advokat, Direktur Hukum dan Kelembagaan LIMIT INDONESIA
Redaksi
0 Komentar